0 Comment
Upacara adat istiadat suku toraja sulawesi selatan

Upacara-Adat-dan-Sistem-Kepercayaan-Sulawesi-Selatan

-Upacara Adat Sulawesi Selatan-postedby-BukanTrik-, Orang bugis makasar lebih banyak tinggal di kabupaten maros dan pangkajene provinsi Sulawesi selatan. mereka adalah penganut agama islam yang taat. Agama islam masuk ke daerah ini sejak abad ke 17 mereka dengan cepat menerima ajaran tauhid. Proses islamisasi didaerah ini dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang melayu islam yang sudah menetap di makasar

Pad zaman pra islam religi orang bugis makasar seperti tampak dari sure galigo mengandung sesuatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama yaitu:
  • Patoto’e yaitu dewa yangmenentukan nasib
  • Dewata seuwa’e yaitu dewa yang tunggal
  • Turie a’rana yaitu kehendak yang tertinggi
Sisa sisa kepercayaan ini masih terlihat pada orang to latang di kabupaten sindenreng rappang dan pada orang amma towa dikajang kabupaten bulukumba

Orang bugis makasar masih menjadikan adat mereka sebagai sesuatu yang keramat dan sakral. Sistem adat yang keramat itu didasarkan pada 5 unsur pokok pangaderreng sebagai berikut:
  1. Ade (ada dalam bahasa makasar) adalah unsur pangaderreng yang terdiri dari
    • Ade akkalabinengeng yaitu norma mengenai perkawinan kaidah-kaidah keturunan , turan-aturan mengenai hak dan kewajiban dalam rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga dan sopan santun pergaulan antar kaum kerabat
    • Ade tana yaitu norma mengenai pemerintahan Negara yag terwujud dalam bentuk hukuim agama, hokum antar negarada etika serta pembinaan insan politik
    Pembinaan dan pengawasan ade dalam masyarakat bugis makasar dilakukan oleh pejabat adat seperti pakka-tenni ade , pampawa ade dan parewa ade
  2. Bicara merupakan unsur pangaderreng mengenai semua kegiatan dari konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hokum adat, acara di muka pengadilan dan mengajukan gugatan
  3. Rampang berarti perumpamaan kias atau analogi sebagai unsur dari pangaderreng, rampang menjaga kepastian dan kesinambungan dari suatu keputusan hokum tak tertulis masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hokum kasus yang dihadapi dengan keputusan dimasa lampau rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah laku ideal dalam berbagai lapangan hidup baik kekerabatan, politik maupun pemerintahan
  4. Wari adalah unsur pangaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dari peristiwa dalam kehidupan manusia misalnya dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antar raja
  5. Sara adalah unsur pangaderreng yag mengandung pranata hokum dal hal ini adalah hokum islam
Kelima unsur keramat terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang bugis makasar, unsur tersebut menghadirkan rasa sentiment kewargaan masyarakat , identitas social martabat dan harga diri yang tertuang dalam konsep siri, siri merupakan rasa malu dan kehormatan sesorang Tanah Toraja yang terletak sekitar 350 km sebelah Utara Makassar yang memiliki sebuah bangunan atau rumah adat yang sangat terkenal dengan ke-khasan bentuknya, yang bernama Tongkonan. Atapnya terbuat dari daun nipa atau kelapa dan mampu bertahan sampai 50 tahun. Suku bugis makasar di tanah toraja memiliki beberapa ritual adat yang biasa dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang diantaranya adalah sebagai berikut

Upacara adat ACCERA KALOMPONG


Accera Kalompoang merupakan upacara adat yang bertujuan untuk membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari upacara ini adalah allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya.

Adapun benda-benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya: tombak rotan berambut ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas yang memakai permata (tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak ta‘roe), dan kancing emas (kancing gaukang).

Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat acara.

Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau 20 September 1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi.

Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur budaya Islam ke dalam upacara adat ini, yakni penyembelihan hewan kurban.

Upacara Adat MAPPALILI


Upacara Adat Mappalili merupakan prosesi upacara mengawali musim tanam padi di sawah. Ritual ini dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan bissu. Selain di Pangkep, komunitas bissu ada di Bone, Soppeng, dan Wajo. Ritual dipimpin langsung Seorang Bissu Puang Matoa.

Puang Matoa terlihat begitu berwibawa di antara bissu yang berkumpul di rumah arajang, yakni tempat pusaka berupa bajak sawah disemayamkan. Mengenakan pakaian adat berupa kemeja bergaris dengan warna dominan putih, dipadu sarung putih polos dan songkok. Suara santun dan tegas selalu keluar dari mulutnya. Tak ada teriakan sedikit pun. Sebagai pengganti teriakannya, Puang Matoa menggunakan katto-katto, sejenis pentungan yang khusus untuk memanggil anak laki-laki, dan kalung-kalung, nama alat tradisional untuk memanggil anak perempuan.

Cukup memukul katto-katto tiga kali dan memberi kode. Meski hanya memanfaatkan pelita, para bissu tetap mempersiapkan perlengkapan ritual. Saidi, misalnya, membentuk simbol-simbol di atas daun sirih menggunakan beras empat warna diantaranya adalah warna hitam simbol tanah, warna merah simbol api, warna kuning simbol angin, dan warna putih simbol air. Setelah semua persiapan rampung, upacara pun digelar esok hari.

Mappalili dimulai dengan upacara membangunkan arajang. “Teddu’ka denra maningo. Gonjengnga’ denra mallettung. Mallettungnge ri Ale Luwu. Maningo ri Watang Mpare. Yang artinya kurang lebih seperti berikut “ Kubangunkan Dewa yang tidur. Kuguncang Dewa yang terbaring. Yang berbaring di Luwu. Yang tertidur di Watampare,” kata Puang Matoa, melagukan nyanyian untuk membangunkan arajang.

Nyanyian Puang Matoa kemudian disambung suara semua bissu yang terlibat dalam upacara Mappalili. “Tokkoko matule-tule. Matule-tule tinaju. Musisae-sae kenneng. Masilanre-lanre kenning. Musinoreng musiotereng. Musiassaro lellangeng. Mupakalepu lolangeng. Lolangeng mucokkongngie. Lipu muranrusie. (Bangkitlah dan muncul. Tampakkan wajah berseri. Menari-nari bersama kami. Bersama turun, bersama bangun. Bersama saling mengunjungi. Menyatukan tujuan. Negeri yang engkau tempati. Tanah tumpah darahmu).”

Nyanyian membangunkan arajang ada 10 lagu. Secara berurutan, Puang Matoa menyanyikannya, setiap tembangnya diikuti sembilan bissu yang terlibat dalam upacara. Bagian acara ini disebut matteddu arajang atau membangunkan pusaka berupa bajak sawah. Konon, bajak ini ditemukan secara gaib melalui mimpi. Puang Matoa mengatakan bajak dari kayu ini sudah ada sejak tahun 1330. Arajang tiap-tiap daerah ini berbeda. Di Pangkep berupa bajak sawah. Di Soppeng berupa sepasang ponto atau gelang berkepala naga yang terbuat dari emas murni. Sedangkan Bone dan Wajo, arajang-nya berupa keris.

Upacara Adat TUDUNG ADE 


Upacara Tukang Ade merupakan prosesi upacara duduk secara adat dengan anggota 110 orang. Tujuan diadakan upacara ini adalah:

a.. untuk Memusyawarakan hal-hal pentingnya menyangkut pemerintahan atau permasalahan yang dihadapkan kerajaan untuk mencapai kesepakatan dan mufakat. 

Hal ini menunjukan bahwa Raja Bone bukan seorang monarki absolut melainkan praktisi demokrasi, karena Raja senantiasa melibatkan seluruh Dewan Kerajaan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kerajaan dan kepentingan rakyat. Upacara ini juga menunjukan bahwa Raja Bone adalah seorang Raja yang murah hati dan ramah terhadap bawahan, berkenan menjamu mereka dengan makanan ringan khas kerajaan, serta mau menerima mereka secara adat

b. untuk acara penghormatan pada saat kerajaan kedatangan tamu resmi dari kerajaan lain dan dianggap layak untuk diterima secara adat.

UPACARA ADAT MA’NENE


upacara adat merupakan prosesi adat mengganti pakaian mayat para leluhurnya. Yang merupakan adat tradisi yang memiliki keunikan dan menjadi ciri khas budaya adat masyarakat toraja sulawesi selatan . Dibilang unik dan khas, mengingat ritual Ma'nene dilakukan khusus oleh masyarakat Baruppu, di pedalaman Toraja Utara. Ritual Ma'nene dilakukan setiap 3 tahun sekali dan biasanya dilakukan pada bulan Agustus.

Dengan alasan Karena upacara Ma'nene hanya boleh dilaksanakan setelah panen. Musim panen yakni jatuh pada bulan Agustus.Masyarakat adat Toraja percaya jika ritual Ma'nene tidak dilakukan sebelum masa panen, maka akan sawah-sawah dan ladang mereka akan mengalami kerusakan dengan banyaknya tikus dan ulat yang datang tiba-tiba.

Asal muasal dari ritual Ma'nene ini berawal dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, yang datang ke hutan pegunungan Balla. Saat itu, Pong menemukan sebuah jasad manusia yang telah meninggal dunia dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Oleh Pong, jasad itu dibawanya dan dikenakan pakaian yang layak untuk dikuburkan di tempat aman.

Semenjak dari itu, Pong berturut-turut mendapatkan berkah. Tanaman pertanian miliknya panen lebih cepat dari waktu biasanya. Saat dia berburu pun, Pong kerap kali mendapatkan perburuannya dengan mudah. Dan saat berburu di hutan, Pong sering bertemu dengan arwah yang dirawatnya 

yang kemudian arwah tersebut ikut membantu dalam perburuan Pong sebagai petunjuk jalannya. Dengan adanya peristiwa tersebut, Pong beranggapan bahwa jasad orang yang telah meninggal sekalipun harus tetap harus dirawat dan dihormati, meskipun jasad tersebut sudah tidak berbentuk lagi.

Pong lalu mewariskan amanahnya kepada penduduk Baruppu. Dan oleh penduduk Baruppu, amanah Pong tetap terjaga dengan terus dilaksanakannya ritual Ma'nene tersebut.

Prosesi Ma'nene itu sendiri diawali dengan mengunjungi lokasi tempat dimakamkan para leluhur masyarakat setempat yakni di pekuburan Patane di Lembang Paton, Kecamatan Sariale, ibu kota Kabupaten Toraja Utara. Para mayat leluhur mereka disimpan di dalam peti yang telah diberi pengawet.

Sebelum dibuka dan di angkat dari peti, para tetua yang biasa dikenal dengan nama Ne' Tomina Lumba, membacakan doa dalam bahasa Toraja Kuno. Setelah itu, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian kembali dibaringkan di dalam peti tadi.

Selama prosesi tersebut, sebagian kaum lelaki membentuk lingkaran menyanyikan lagu dan tarian yang melambangkan kesedihan. Lagu dan gerak tarian tersebut guna untuk menyemangati para keluarga yang ditinggalkan.

Demikian penjelasan lengkap mengenai nama macam macam contoh “Upacara Adat Istiadat dan Sistem Kepercayaan Sulawesi Selatan” semoga dapat bermanfaat, terima kasih untuk kunjungan ke blog BukanTrik. Silahkan baca juga artikel terkait lainnya

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan sopan

 
Top